Senin, 05 Januari 2015

HADITS AHAD



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini kebenarannya. Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan. Dalam penentuan suatu hadis itu dilihat dari kualitas dan kuantitas rawi, telaah ini dilakukan ulama dalam upaya menelusuri secara akurat sanad yang ada pada setiap hadis yang dikumpulkannya. Dengan penelitian kedua aspek inilah, upaya pembuktian shahih tidaknya suatu hadis lebih dapat dipertimbangkan ketika orang membicarakan hadis yang tidak mutawatir, maka saat itulah telaah hadis dilihat dari kuantitas rawi sangat diperlukan.
Pembagian hadis dilihat dari sudut bilangan perawi dapat digolongkankan menjadi dua bagian yang besar yaitu mutawatir dan ahad. Hadis mutawatir terbagi menjadi mutawatir lafzi, mutawatir manawi dan mutawatir amali. Ketiga bagian ini menjadi nas hukum dalam bidang akidah dan syariah, hadis ahad pula terbagi menjadi tiga bagian yaitu masyhur, aziz dan gharib.
Dalam pembagian hadits tersebut, hadits mutawatir ini diriwayatkan oleh sejumlah orang yang banyak, sedangkan hadits Ahad diriwayatkan oleh orang yang banyak, tapi tidak sampai sejumlah hadits mutawatir. Jadi hadits ahad itu bukanlah hadits palsu atau hadits bohong, namun hadits yang shahih pun bisa termasuk hadits ahad juga. Meski tidak sampai derajat mutawatir. Hadits ahad tidak ditempatkan secara berlawanan dengan hadits shahih, melainkan ditempatkan berlawanan dengan hadits mutawatir[1].
Akan tetapi dari segi kehujjahan hadits ahad banyak terjadi polemik yang berkembang dalam masyarakat. Ada golongan yang berkeyakinan dan keyakinannya itu salah bahwa Hadits Ahâd bukan hujjah bagi ‘aqidah. Karena menurut mereka, Hadits Ahâd itu bukan Qath’iy ats-Tsubût (keberadaan/sumbernya pasti), maka mereka menganggap hadits tersebut tidak dapat memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin).
     Perawi hadis ahad tidak mencapai jumlah banyak yang meyakinkan bahwa mereka tidak mungkin bersepakat bohong sebagaimana dalam hadis mutawatir, ia hanya diriwayatkan satu, dua, tiga, empat, dan atau lima yang tidak mencapai mutawatir. Hadis ahad memberi faedah ilmu nazhari, artinya ilmu yang diperlukan penelitian dan pemeriksaan terlebih dahulu, apakah jumlah perawi yang sedikit itu memiliki sifat – sifat kredibelitas yang dapat dipertanggung jawabkan atau tidak. Hadis ahad inilah yang memerlukan penelitian secara cermat apakah para perawinya adil atau tidak, dhabith atau tidak, sanadnya muttashil (bersambung) atau tidak, dan seterusnya yang nanti dapat menentukan tingkat kualitas suatu hadis apakah dis shahih, hasan, dan dha’if.


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pengertian Hadits Ahad?
2.      Bagaimana Macam-macam Hadits Ahad?
3.      Bagaimana Kehujjahan Hadits Ahad?

















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hadits Ahad
Menurut bahasa ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa berarti al Wahid atau satu. Dengan demikian khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.[2]
 Menurut istilah, hadist ahad adalah:
هو مالم يجمع شروط المتواتر
Artinya: Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi hadis mutawwatir. [3]
Yang dimaksud hadist ahad adalah hadist yang diriwayatkan oleh beberapa perawi yang jumlahnya tidak mencapai batasan hadist mutawwatir. Mayoritas hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW dan terdapat dalam kitab-kitab referensi adalah jenis hadist ahad.[4]
Adapun hadits ahad menurut istilah yang banyak didefenisikan oleh para ulama, antara lain sebagai berikut:
لم تبلغ نقلته فى الكثرة مبلغ الخبر المتواتر سواء كا ن المخبر وا حدا أو اثنين أو ثلا ثا أو اربعا أو خمسة أو الى غير ذا لك من الأ عدا د التي لا تشعر بأ ن الخبر دخل بها في خبر المتوا تر ما.
“Khabar yang jumlah perawinya tidak sampai sebanyak jumlah perawi Hadist Mutawatir, baik perawinya itu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir”.[5]
Ada juga ulama yang mendefenisikan Hadits Ahad secara singkat, yakni “Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat Hadits Mutawatir”, “selain Hadits Mutawatir” atau hadits yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian Zanni dan tidak sampai kepada Qat’i dan yakin.
Dari beberapa defenisi di atas, jelaslah bahwa di samping jumlah perawi Hadits Ahad tidak sampai kepada jumlah perawi Hadits Mutawatir, kandungannya pun bersifat zanni dan tidak bersifat qat’i.
Kecenderungan para ulama mendefenisikan Hadits Ahad seperti tersebut di atas, dikarenakan, menurut mereka, dilihat dari jumlah perawinya, Hadits dibagi menjadi dua, yaitu Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad. Pengertian ini berbeda dengan pengertian Hadits Ahad menurut ulama yang membedakan hadits menjadi tiga, yaitu Hadits Mutawatir, Masyhur dan Ahad. Menurut mereka ulama yang disebut terakhir ini, bahwa yang disebut dengan Hadits Ahad adalah:
ما رواه الواحد أو الا ثنا ن فأ كثر مما لم تتو فر فيه شروط المشهور أو المتوا تر.
“Hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih, yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan Hadits Masyhur dan Hadits Mutawatir”.[6]
Muhammad Abu Zahrah mendefenisikan Hadits Ahad sebagai berikut:
كل خبر يرويه الواحد أو الاثنان أو الأكثر عن الرسول صلى الله عليه و سلم ولا يتوا فر فيه شرط المشهور.
“Tiap-tiap khabar yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih diterima dari Rasulullah SAW dan tidak memenuhi persyaratan Hadits Masyhur”.[7]
Abdul Wahab Khallab menyebutkan bahwa Hadits Ahad adalah Hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah orang, tetapi jumlahnya tidak sampai kepada jumlah perawi Hadits Mutawatir. Keadaan perawi seperti ini terjadi sejak perawi pertama sampai perawi terakhir.[8]
     
B.     Sebab-sebab Hadist Ahad Dinyatakan sebagai Zhanni Al-Wurud dan Menjadi Obyek Pembahasan Ilmu Hadist
Jumlah periwayat yang terlibat pada hadist ahad untuk setiap (tsabaqah) sanadnya tidak sebanyak jumlah periwayat pada hadist mutawwatir. Akibatnya, tingkat keakuratan riwayat hadist ahad tidak setinggi hadist mutawwatir. Untuk hadist mutawatir tingkat keakuratan riwayatnya mencapai qath’i (meyakinkan kebenaran beritanya), sedang untuk hadist ahad, tingkat keakuratan riwayatnya hanya mencapai zhanni (dugaan keras). Karenanya, untuk mengetahui apakah wurud (kedatangan) hadist ahad dapat dipercaya ataukah tidak, maka terlebih dahulu sanad dan matannya harus diteliti. Untuk hadist mutawatir, penelitian yang demikian itu tidak diperlukan karena sudah pasti kebenaran wurud-nya.[9]





C.    Macam-macam Hadits Ahad
Pembagian Hadis ahad ada tiga macam, yaitu hadis masyhur, aziz, dan gharib.
1.   Hadis Masyhur
Dalam bahasa kata Masyhur diartikan = tenar, terkenal, dan menampakkan. Dalam istilah hadis masyur terbagi menjadi dua macam adalah :
a.    Masyhur Isthilahi :
Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang lebih pada setiap tingkatan  (thabaqah) pada beberapa tingkatan sanad tetapi tidak mencapai criteria mutawatir.[10]
Sebagian ulama berpendapat hadis masyur sinomim dengan hadis mustafidh (dalam bahasa diartikan penuh dan tersabar) dan sebagian ulama alain berpendapat bahwa musthafidh lebih khusus, akarena dalam musthafidh disyaratkan dua ujung sanadnya harus sama jumlahnya yakni 3 orang atau lebih. Menurut pendapat kedua ini hadis mustafidh kebih khusus daripada masyhur, karena dipersyaratkan jumlah 3 orang periwayat dari awal sampai akhir sanad.
b.   Masyhur Ghayr Isthilahi
Hadis Masyhur Ghayr Isthilahi berbeda dengan Masyhur Isthilahi di atas. Hadis Masyhur menurut istilah muhadditsin (disebut masyhur isthilahi) sebagaimana di atas, sedang masyhur gayr isthilahi (bukan istilah muhadditsin) adalah :
Hadis yang popular pada ungkapan lisan (para ulama) tanpa ada persyaratan yang definitive.
Hadis Masyhur Ghayr isthilahi adalah hadis yang popular atau terkenal di kalangan golongan atau kelompok orang tertentu, sekalipun jumlah periwayat dan sanad tidak mencapai 3 orang atau lebih. Popularitas hadis masyhur disini disini tidak dilihat dari jumlah para perawi sebagaimana masyhur isthilahi di atas, tetapi tekanannya lebih kepada popularitas hadis itu sendiri ini di kalangan kelompok orang atau ulama dalam bidang ilmu tertentu. Mungkin hadis masyhur ghayr isthilahi hanya memiliki satu sanad saja atau lebih dan dua tidak bersanad, mungkin hadis itu mutawatir atau ahad, berkualitas shahih, hasan, dha’if, dan atau mawdu’ yang penting popular dikalangan para ulama. Misalnya hadis tertentu popular (masyhur) dikalangan ulama tertentu tidak popular pada ulama lain. Hadis tertentu popular dikalangan ulama hadis saja, dan seterusnya. Misalnya hadis yang popular (masyhur) dikalangan ulama fiqh saja:
Hal yang paling di murkakan Allah adalah talak (HR. Al-Hakim)
Contoh hadis masyhur dikalangan ulama ushul fiqh:
Terangkat daripada umatku kekhilafan, kelupaan, dan sesuatu yang dipaksakan. (HR. Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Contoh Hadis Masyhur dikalangan Ulama Hadis :
Hadis Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW berdo’a qunut satu bulan setelah ruku’ mendoakan pada qabilah riil dan Dzakwan. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hukum Hadis Masyhur baik Istilahi atau Ghayr istilahi tidak seluruhnya dinyatakan shahih, akan tetapi tergantung pada hasil penelitian atau pemeriksaan para ulama. Sebagian hadis masyhur ada yang shahih, sebagian hasan, dan dha’if, bahkan ada yang mawdhu’. Namun, memang diakui bahwa keshahihannya hadis masyhur istilahi lebih kuat daripada keshahihan hadis aziz dan gharib yang hanya diriwayatkan satu atau dua orang perawi saja.
c.    Kitab-kitab hadis mashyur
Kitab-kitab yang memuat hadis masyhur ghayr istilahi (‘ala al-Alsinah) antaranya seabagai berikut :
a)      Al-Maqashid Al-Hasanah fima Usytuhira ‘ala Al-Alsinah, karya As-Sakhawi,
b)      Kasyfu Al-Khafa’ wa Muzil Al-Ilbas fima Usyituriha min Al-Hadits ‘ala Alsinah An-Nas, karya Al-Ajaluni.
c)      Taamyiz Ath-Thayyib min Al-Khabits fima Yadur ‘ala Alsinah An-Nas min Al-Hadits, karya Ibnu D-Daiba Asy-Syaibani.

2.   Hadis Aziz
Dari segi bahasa kata aziz sifat musyabbahah berasal dari kata ‘azza ya’izzun yang berarti sedikit dan langka. Atau dari kata ‘azza ya’azzun yang berarti kuat.
Jadi hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang perawi pada seluruh tingkatan (thabaqat) sanad atau walaupun dalam satu tingkatan sanad saja. Misalnya dikalangan sahabat hanya terdapaat dua orang yang meriwayatkannya, atau hanya dikalangan tabi’in saja yang terdapat dua orang perawi sementara dikalangan sahabat hanya terdapat satu orang saja. Jadi pada salah satu tingkatan sanad hadis tersebut didapatkan tidak kurang dari dua orang perawi atau  satu tingkatan sanad yang terdiri dari dua orang.

3.   Hadis Gharib
Kata gharib dalam bahasa juga sifat musyabbahah (serupa dengan isim fa’il atau isim maf’ul) yang berarti sendirian (al-munfarid) . nama lain dari hadis gharib adalah fard. Farad dalam bahasa adalah tunggal dan satu. Antara hadis gharib dan fard yaitu satu mempunyai makna yang sama yaitu hanya satu perawi dalam satu tingkatan (thabaqat) sanad atau pada sebagian tingkatan sanad walaupun dalam hal satu tingkatan saja sedangkan pada tingkatan yang lain lebih dari satu orang. Misalnya satu hadis ditrima ditingkat ditingkatan sahabat hanya oleh seorang sahabat saja, sementara dikalangan tingkatan selain sahabat terdapat dua orang perawi atau lebih yang menerima hadis tersebut. Hadis yang seperti ini disebut hadis gharib dikalangan sahabat sekalipun tidak gharib ditingkatan tabi’in atau tabi’ tabi’in.
Macam – macam hadis gharib ada dua macam yaitu sebagai berigkut :
a.    Gharib Mutlak, yaitu :
Hadis yang gharabah-nya (perawi satu orang) terletak pada pokok sanad. Pokok sanad adalah ujung sanad yaitu seorang sahabat.
Ujung sanad disebut pokok atau asal sanad karena sahabat yang menjadi referensi utama dalam periwayatannya hadis sekalipun banyak jalan dan tingkatan dalam sanad.
b.   Gharib Nisbi (relatif), yaitu :
Hadis yang terjadi gharabah (perawinya satu orang) ditengah sanad.
Hadis tersebut dikalangan tabi’in hanya Malik yang meriwayatkannya dari az-Zuhri. Boleh jadi pada awal sanad lebih dari satu orang, namun ditengah – tengahnya terjadi gharabah. Artinya hanya satu orang saja yang meriwayatkannya, kata nisbi memberikan makna bahwa gharabah terjadi secara relatif atau dinisbatkan pada suatu tertentu tidak secara mutlak.

D.    Kehujjahan Hadits Ahad
Hadist ahad memiliki nilai “nadhariy”. Yakni ia masih merupakan ilmu yang masih memerlukan penyelidikan dan pembuktian  lebih lanjut.[11] Jumhur Ulama’ dari kalangan ahli hadits, fiqih dan ahli ushul, berpendapat bahwa hadits ahad yang sahih dapat dijadikan sebagai hujjah yang wajib diamalkan dengan dasar kewajiban beramal itu adalah kewajiban syar’i, bukan akli.[12] 
Hadist ahad dengan pembagiannya terkadang dapat dihukumi shahih, hasan, atau dha’if bergantung pada syarat-syarat penerimaan hadist. Adapun kehujjahan hadist ahad, jumhur ulama sepakat bahwa hadist ahad dapat dijadikan sebagai hujjah, selama hadis tersebut masuk kategori hadist maqbul, atau memenuhi syarat diterimanya hadist.
Para ulama banyak memberikan bukti tentang kehujjahan hadist ahad. Di antara dalil-dalil yang mereka gunakan adalah:
a.    Sejarah membuktikan bahwa Rasulullah SAW tatkala menyebarkan Islam kepada para pemimpin negeri atau para raja, beliau menunjuk dan mengutus satu atau dua orang sahabat. Bahkan beliau pernah mengutus dua belas sahabat untuk berpencar menemui dua belas pemimpin saat itu untuk diajak menganut Islam. Kasus ini membuktikan bahwa khabar yang disampaikan atau dibawa oleh satu dua orang sahabat dapat dijadikan hujjah. Seandainya Rasulullah menilai jumlah sedikit tidak cukup untuk menyampaikan informasi agama dan tidak dapat dijadikan sebagai pedoman niscaya beliau tidak akan mengirim jumlah sedikit tersebut. Demikian kata Imam Syafi’i.
b.   Dalam menyebarkan hukum syar’i, kita dapatkan juga bahwa Rasulullah mengutus satu orang untuk mensosialisasikan hukum-hukum tersebut kepada para sahabat yang kebetulan  tidak mengetahui hukum yang baru ditetapkan. Kasus pengalihan arah kiblat yang semula menghadap Baitul Maqdis di Palestina kemudian dipindah ke arah kiblat (Ka’bah) di Mekkah. Info pengalihan seperti ini disampaikan oleh seorang sahabat yang kebetulan bersama Nabi SAW kemudian datang ke salah satu kaum yang saat itu sedang melaksanakan shalat subuh lalu memberitahukan bahwa kiblat telah diubah arah. Mendengar informasi seperti itu spontan mereka berputar arah untuk menghadap ke Ka’bah padahal mereka tidak mendengar sendiri ayat yang turun tentang hal itu. Imam Syafi’i mengatakan, seandainya khabar satu orang yang dikenal jujur tidak dapat diterima niscaya mereka tidak akan menggubris informasi pemindahan arah kiblat tersebut.
c.    Termasuk dalil yang digunakan Imam Syafi’i untuk membuktikan kehujjahan hadist ahad adalah hadist yang berbunyi:
نضر الله امرا سمع منا شيئا فبلغه كما سمع فرب مبلغ أوعي من سامع
Artinya: Semoga Allah membaguskan wajah orang yang mendengar dari kami sebuah hadis lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia dengar, bias jadi orang yang disampaikan lebih memahami dari pada orang yang mendengar.
Anjuran Rasulullah SAW untuk menghafal lalu menyampaikan pada orang lain menunjukkan bahwa khabar atau hadist yang dibawa orang tersebut dapat diterima dan sekaligus dapat dijadikan sebagai dalil.  Di sisi lain hadist yang disampaikan itu bisa berupa hukum-hukum halal haram atau juga berkaitan dengan masalah aqidah. Dengan demikian hadist dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berbagai masalah selama memenuhi kriteria shahih.[13]























BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hadist ahad adalah hadist yang diriwayatkan oleh beberapa perawi yang jumlahnya tidak mencapai batasan hadist mutawwatir, baik jumlah rawinya satu, dua atau tiga namun tidak mencapai derajat mutawatir.
Sebab hadits ahad tidak dinyatakan qath’i (zhanni) karena jumlah kuantitas perawinya tidak sebanding dengan hadits mutawatir, oleh sebab itu masih menjadi dugaanyang kuat dan perlu dibahas dan diteliti lebih lanjut. Hadits ahad dibagi menjadi tiga, yaitu: hadits Masyhur, Aziz, ghorib, dan itu semua mempunyai tingkatan masing-masing ditinjau dari segi penerimaan hadits.
Adapun kehujjahan hadist ahad, jumhur ulama sepakat bahwa hadist ahad dapat dijadikan sebagai hujjah, selama hadis tersebut masuk kategori hadist maqbul, atau memenuhi syarat diterimanya hadist dan hadits ahad yang sahih dapat dijadikan sebagai hujjah yang wajib diamalkan dengan dasar kewajiban beramal itu adalah kewajiban syar’i, bukan akli.



















DAFTAR PUSTAKA

Thahhan, Mahmud. Intisari Ilmu Hadist. Malang:UIN-Press, 2007
Suparta, Munzier. Ilmu Hadist, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001
Zeid B. Smeer. Ulumum Hadist Pengantar Studi Hadist Praktis. Malang, UIN- Malang Press
Al-Siddiqi, T.M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. 10, 1991
Idri, Study Hadis, Jakarta: Kencana, 2010
Al-Khatib Muhammad ‘Ajjaj, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikri,1989
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-‘Araby, 1958
Khallab, Abdul Wahab. ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, Cet. 12, t.tp, 1978
Ismail, M. Syuhudi. Ulumul Hadist I-IX. Jakarta: DITBINPERTA Islam, 1993
Khaeruman, Badri. Ulum Al-Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2010




[1] Mahmud Thahhan. Intisari Ilmu Hadist. (Malang:UIN-Press, 2007). H. 31-32
[2]  Munzier Suparta, Ilmu Hadist, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001 ), hal.95
[3]  Mahmud Thahhan.  Loc.cit. H. 36
[4]  Zeid B. Smeer. Ulumum Hadist Pengantar Studi Hadist Praktis. (Malang, UIN- Malang Press). H. 43
[5]  T.M. Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. 10, 1991), h. 32
[6]  Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikri,1989), h. 302.
[7]  Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Dar al-Fikr al-‘Araby, 1958), h. 108.
[8]  Abdul Wahab Khallab, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, Cet. 12, t.tp, 1978), h. 42.
[9]  M. Syuhudi Ismail. Ulumul Hadist I-IX. (Jakarta: DITBINPERTA Islam, 1993). H. 36
[10]  Idri, Study Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010) h. 142
[11]  Mahmud Thahhan. Intisari Ilmu Hadist. (Malang:UIN-Press, 2007). H. 36
[12]  Idri, Study Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010) h. 153
[13]  Zeid B. Smeer. H. 44-48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar